Free Edward Bella 1 Cursors at www.totallyfreecursors.com

Minggu, 10 Februari 2013

Hafalan Shalat Delisa



Hafalan Shalat Delisa merupakan film drama Indonesia yang dirilis pada 22 Desember2011 yang disutradarai oleh Sony Gaokasak serta dibintangi oleh Nirina Zubir dan Reza Rahadian. Film ini diangkat dari novel laris karya Tere Liye dengan judul yang sama. Seluruh pengambilan adegan film ini dibuat di Aceh.


Delisa (Chantiq Schagerl) gadis kecil kebanyakan yang periang, tinggal di Lhok Nga, sebuah desa kecil yang berada di tepi pantai Aceh, mempunyai hidup yang indah. Sebagai anak bungsu dari keluarga Abi Usman (Reza Rahadian), Ayahnya bertugas di sebuah kapal tanker perusahaan minyak Internasional. Delisa sangat dekat dengan ibunya yang dia panggil Ummi (Nirina Zubir), serta ketiga kakaknya yaitu Fatimah (Ghina Salsabila), dan si kembar Aisyah (Reska Tania Apriadi) dan Zahra (Riska Tania Apriadi).
26 Desember 2004, Delisa bersama Ummi sedang bersiap menuju ujian praktek shalat ketika tiba-tiba terjadi gempa. Gempa yang cukup membuat ibu dan kakak-kakak Delisa ketakutan. Tiba-tiba tsunami menghantam, menggulung desa kecil mereka, menggulung sekolah mereka, dan menggulung tubuh kecil Delisa serta ratusan ribu lainnya di Aceh serta berbagai pelosok pantai di Asia Tenggara.
Delisa berhasil diselamatkan Prajurit Smith, setelah berhari-hari pingsan di cadas bukit. Sayangnya luka parah membuat kaki kanan Delisa harus diamputasi. Penderitaan Delisa menarik iba banyak orang. Prajurit Smith sempat ingin mengadopsi Delisa bila dia sebatang kara, tapi Abi Usman berhasil menemukan Delisa. Delisa bahagia berkumpul lagi dengan ayahnya, walaupun sedih mendengar kabar ketiga kakaknya telah pergi ke surga, dan Ummi belum ketahuan ada di mana.
Delisa bangkit, di tengah rasa sedih akibat kehilangan, di tengah rasa putus asa yang mendera Abi Usman dan juga orang-orang Aceh lainnya, Delisa telah menjadi malaikat kecil yang membagikan tawa di setiap kehadirannya. Walaupun terasa berat, Delisa telah mengajarkan bagaimana kesedihan bisa menjadi kekuatan untuk tetap bertahan. Walau air mata rasanya tak ingin berhenti mengalir, tapi Delisa mencoba memahami apa itu ikhlas, mengerjakan sesuatu tanpa mengharap balasan.[1]


 penduduk Indonesia! Sejenak mari kita refresh dulu otak dan pikiran kita yang kayaknya udah mbulet ngeliat berita Neng Aprilia Susanti atau anggaran ruang banggar DPR yang mencekik leher. Bosen cak, mas, mbah, mbak, opa, oma dll.. (maaph yang belum disebut :p) Daripada puyeng, mending kita ulas sedikit tentang novel Tere Liye yang baru-baru ini sudah diluncurkan filmnya.
So, Tere Liye adalah seorang novelis Indonesia yang udah menerbitkan banyak buku. Tapi, dari sekian banyak buku baru satu yang saya baca dan ini langsung menyentuh ke hati. (Bermula lebay :p) Apakah itu?
Jreng-jreng.. Ini dia…
1327544777326209465Cover Novel “Hafalan Shalat Delisa”
Jadi, HSD adalah novel Tere Liye yang mulanya dimuat dalam koran Republika sebagai cerita bersambung. Kemudian, di tahun 2007 melihat antusiasme pembaca (hal sama terjadi pada novel Best Seller ‘Ayat-Ayat Cinta’), cerbung ini dibukukan dalam sebuah novel yang  juga menjadi best seller hingga mengalami cetak ulang hingga 8 kali (per Desember 2011).
Ini adalah kisah tentang tsunami…
Ini adalah kisah tentang kanak-kanak…
Ini adalah kisah tentang proses memahami…
Ini adalah kisah tentang keikhlasan…
Ini adalah kisah tentang Delisa…

Novel ini diawali ketika Tere Liye melihat berita Tsunami Aceh dengan korban seorang anak kecil yang kakinya diamputasi. Dan Tere pun berikrar, bahwa dia akan mengabadikan kisah itu yang akhirnya diwujudkan dalam buku ini.
Bermula dari kehidupan sebuah keluarga kecil di Lhok Nga, Aceh yakni keluarga Ummi Salamah. Ummi memiliki 4 orang anak, yaitu Fatimah, Aisyah, Zahrah, dan si bungsu Delisa. Sedangkan ayahnya -Abi Usman- bekerja di sebuah kapal laut sehingga lebih sering berada di Luar Negeri dan komunikasi pun  dilakukan dengan telpon.
Di keluarga ini, nilai agama ditanamkan dengan kuat. Walaupun Ummi tidak didampingi Abi, tapi Umi berusaha menjadi ibu yang baik. Shalat shubuh selalu mereka laksanakan dengan jama’ah. Hingga Delisa, yang baru berumur 6 tahun pun, diwajibkan Ummi untuk hafal bacaan shalat. Mula-mulanya Delisa sangat sulit menghafal, sering tertukar letaknya. Ummi pun menjanjikan Delisa hadiah sebuah kalung, jika Delisa hafal bacaan shalat saat melewati tes hafalan di depan guru ngajinya. Dan kalung ini sangat istimewa, D untuk Delisa (hikss.. so sweet)
Akhirnya, Minggu 24 Desember 2004, kejadian memilukan hati pun terjadi.
Cuaca di Aceh hari itu begitu cerah. Tapi sesaat, gempa kecil menggetarkan Lhok Nga. Semua khawatir, tapi mengganggap ini hanya sebuah kejadian biasa. Dan hal ini tidak menjadi momok menakutkan bagi Delisa. Sebab pada hari ini, dia akan menjalani tes hafalan. Diantarkan Ummi, Delisa yakin hari ini akan menjadi hari yang indah.
Dengan visualisasi cerita yang bagus dari Tere, pembaca seakan dibawa dalam alur cerita dan turut merasakan ketulusan hati dari seorang Delisa. Di saat Delisa mengangkat takbir, Aceh bergetar. Gelombang pantai beriak seperti tak biasanya.  Endingnya, ketika Delisa tertatih dalam menyelesaikan tahiyat akhirnya, badai Tsunami datang menerjang tubuh kecilnya. Akan tetapi,ajaibnya Delisa tetap khusyu dan tidak menyadari akan apa yang terjadi.
Hiksss.. T_T (Yang nulis mulai pengen nangis lagi) Ummi beserta kakak-kakak Delisa semuanya syahid dalam musibah ini. Abi Usman pun pergi menyusul Delisa dan mendapati kaki Delisa yang mesti diamputasi. But, it’s so awesome. Delisa terlihat sangat tegar bahkan dia sering menjadi motivator untuk Abi. Dan yang lebih mengharukan lagi, Delisa tetap bertekad menyelesaikan bacaan shalatnya. Bukan karena kalung, tapi karena Allah.
Kisah Delisa membawa kita pada penghayatan yang begitu dalam. Tentang keikhlasan, ketaqwaan kepada Tuhan, ketabahan dan juga mengajarkan bahwa bagaimana pun masalah mendera hidup kita, selalu ada Tuhan yang menjadi penolong.
Overall, meskipun dalam buku ini, pada halaman awalnya agak sedikit menimbulkan kerancuan pembaca, tapi di lembaran-lembaran berikutnya, kalo ga nangis ~_~, patut dipertanyakan. Dan hampir tujuh tahun setelah kejadian Tsunami Aceh dan empat tahun setelah novel ini diterbitkan, HSD hadir dalam bentuk film yang tidak kalah menyentuhnya. Saya aja habis satu bungkus tisu, karena dari awal sampai akhir terus berlinangan air mata. Mungkin, hanya film ini yang bisa mengalahkan rekor saya ketika menangis di bioskop,



0 komentar:

Posting Komentar